IKA FIS UNJ Gelar Diskusi Publik Bahas Polemik UU KPK

Ikatan Alumni Fakultas Ilmu Sosial (IKA FIS) UNJ menggelar Diskusi Publik dengan tema “Quo Vadis Pemberantasan Korupsi di Indonesia” di Aula Maftutah Yusuf Gd. Dewi Sartika UNJ, Jumat (18/10) .

Ketua Umum IKA FIS UNJ Rasminto menyatakan diskusi ini bertujuan memberikan ruang dialogis kepada masyarakat terutama civitas akademika, sehingga menghasilkan pemahaman yang komprehensif terkait polemik revisi UU KPK.

“Juga untuk menanamkan nilai-nilai permusyawaratan dan dialogis dalam menyelesaikan permasalahan berbangsa dan bernegara,” kata Rasminto.

Rasminto menjelaskan sejarah perkembangan pemberantasan korupsi di Indonesia. Rasminto menyatakan di Orde Baru, Soeharto banyak mengeluarkan peraturan terkait pemberantasan korupsi. Lantaran, kata Rasminto, masa jabatan Soeharto yang panjang.

Kendati demikian, peraturan pemberantasan korupsi itu tidak efektif untuk memberantas korupsi.

“Contohnya, Pemerintahan saat itu sempat menerbitkan Keppres No. 28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, tim tersebut tidak berhasil melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi. Peraturan ini justru mengundang berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970,” katanya.

Setelah masa Orde Baru tumbang, lanjut Rasminto, di era kepemimpinan Gus Dur, muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Kemudian, Gus Dur membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi.

“Antara lain Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya,” katanya.

Rasminto pula menyatakan Gus Dur mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI, kata Rasminto, sempat melakukan langkah-langkah kongkret dalam penegakan hukum korupsi.

” Pada saat itu, banyak koruptor kelas kakap yang berhasil ditangkap untuk diperiksa dan dijadikan tersangka,” katanya.

Rasminto melanjutkan, pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri, ada berbagai kasus korupsi yang muncul dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat, kata Rasminto, mulai meragukan komitmen pemberantasan korupsi, lantaran banyak BUMN yang melakukan korupsi, tetapi idak dapat dituntaskan.

“Misalnya adalah korupsi di Bulog,” katanya.

Kemudian, Rasminto menyatakan di pemerintahan Presiden Jokowi dan Jusuf terjadi sebuah polemik yang seakan-akan mengebut pengesahan RUU KPK. Pengesahan ini, memunculkan protes dari berbagai kalangan.

Menanggapi hal itu, Tim Penyusun UU KPK, Romli Atmasasmita menyatakan Sejarah KPK merupakan produk hasil reformasi, lantaran kurangnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga Kejaksaan dan Kepolisian dalam menegakan keadilan dalam menangani korupsi di Indonesia.

Oleh karena itu, lanjut Romli, Revisi UU KPK bertujuan menghindari penyadapan yang menyimpang oleh oknum-oknum di lingkungan KPK. Menurut Romli, penyadapan harus seizin Dewan Pengawas KPK sesuai tugas dan wewenang KPK.

Kemudian, Praktisi Hukum Firman Wijaya menyatakan, kemajuan dan kemunduran penegakkan hukum di Indonesia tergantung dari kebijakan pemerintah yang menjabat. Menurut Firman, hukum memberantas korupsi bisa kuat, bila embaga peradilan berkerja sesuai kewajibannya tanpa pandang bulu.

Diskusi itu digelar pukul 13.30 WIB hingga selesai. Hadir Romli Atmasasmita (Pendiri/ Tim Perumus UU KPK), Firman Wijaya (Pengamat Hukum dari Universitas Krsinadwipayana) , Suhadi (Dosen PPKN UNJ), dan Victor Santoso Tandiasa (Lawyer Constitutional). Kegiatan ini dimoderatori oleh Rahmatullah.

News letter