Juri Ardiantoro: Krisis Pedagogik Pembelajaran Jarak Jauh Harus Diatasi.
Langkah-langkah mengatasi krisis pedagogik perlu dilakukan untuk menyelamatkan Program Merdeka Belajar, POP, dan Program Kampus Merdeka dari kegagalan.
Abdullah Taruna
Pernyataan tersebut disampaikan
oleh Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta Juri Ardiantoro, S.Pd.,
M.Si., Ph.D., saat sharing pendapat mengenai situasi PJJ masa pandemi dengan
tim Forum Diskusi Pedagogik (FDP) IKA UNJ beberapa hari jelang diskusi Reboan
Pendidikan, Rabu, 31 Maret 2021.
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)
memiliki tujuan yang sama dengan Pembelajaran Tatap Muka (PTM), yaitu para
murid/peserta didik menjadi lulusan sesuai tujuan kurikulum pendidikan.
Permasalahannya dari sejak awal pandemi setahun lalu, kata Juri Ardiantoro,
pelaksanaan PJJ bisa dibilang baru sesuai teori distance learning. “Praktik PJJ sebagian besar baru pada
bagaimana mentransfer pengetahuan/materi pembelajaran kepada para peserta
didik, “ ungkapnya.
Temuan-temuan PJJ secara daring
(berlangsung dalam jaringan internet: Red.) diketahui bahwa banyak mengalami
kesulitan dalam menjalankan PJJ secara daring, maka jalan paling memungkinkan
adalah bagaimana para murid/peserta didik di SD, SMP, dan SMA/SMK dapat
mengikuti proses transfer pengetahuan. Hal yang sama terjadi saat guru
mendatangi satu persatu muridnya di rumah masing-masing. Dalam PJJ di luar
jaringan (luring) itu, temuan yang diperoleh dari para guru menunjukkan tingkat
kesulitan yang jauh lebih rumit untuk melaksanakan PJJ berdasarkan pedagogik
teoritis maupun pedagogik praktis.
Betapapun tim FDP mendapatkan data
valid, bahwa orangtua murid telah bekerja sama dengan
guru untuk memastikan putra-putrinya mengikuti PJJ secara daring, maupun luring
dalam situasi pandemi covid-19 yang sarat protokol kesehatan.
Pengalaman sulit menjalankan ilmu
pendidikan teoritis dan praktis saat PJJ daring maupun luring dalam skema
prokes bukan hanya dihadapi para guru di Indonesia melainkan hampir di seluruh
dunia. Alih-alih mengatasi keadaan pelik itu, Dosen Pembimbing FDP IKA UNJ Jimmy
Philip Paat mendapatkan pembagian pengalaman pendidik dari koleganya di luar
negeri tentang cara menjalankan PJJ yang mereka namai dengan pendekatan panicgogy.
Satu pendekatan dalam situasi pembelajaran yang panik karena pandemi.
Pendekatan ini memahami kepraktisan peserta didik dan memastikan para peserta
didik memiliki kesempatan untuk terhubung satu sama lain melalui materi
pembelajaran yang direkam oleh guru, dan disebar ke e-mail maupun sosmed
peserta didik, untuk dibahas secara online maupun PJJ Luring.
Bila PJJ dijalankan hanya
berdasarkan teori PJJ konvensional, dan tidak menyertakan pedagogik sebagai
teori ilmu pendidikan praktis maupun teoritis, lanjut Juri Ardiantoro, maka
tampak jelas PJJ mengalami krisis pedagogik. Mencermati keadaan dunia
pendidikan ini, Juri Ardiantoro berharap para ilmuwan pendidikan, para dosen
prodi kependidikan, dan para guru tidak berpangku tangan, dan menyerah. “krisis
pedagogik pembelajaran jarak jauh harus diatasi,”
Pernyataan Ketua Umum IKA UNJ Juri Ardiantoro memang tidak jauh panggang dari api. Fenomena munculnya panicgogy membuktikan bahwa sebenarnya belum ada teori PJJ yang dihasilkan para ilmuwan pendidikan khusus mengatasi keadaan PJJ situasi pandemi. Teori PJJ yang ada saat ini merupakan teori PJJ dalam situasi non pandemi, dan sudah berlangsung lebih dari satu abad.
William Gaudell, Profesor
Pendidikan Ilmu Sosial dari University of Central Florida, Orlando, menyatakan Pembelajaran
jarak jauh, betapapun mengalami perubahan pada akhir abad ke-20, namun
sebenarnya sudah berlangsung sekitar 130 tahun.
Prewitt (1998) melacak tren PJJ berbasis website ke pendahulunya,
terutama pengembangan yang berorientasi pada keterampilan kursus pembelajaran
jarak jauh. Temuan yang diperoleh adalah, mereka yang membutuhkan pendidikan
jarak jauh di Pennsylvania, AS pun telah diberikan akses kursus pembelajaran jarak
jauh melalui Universitas Chicago pada 1890. Tentu saja waktu itu PJJ belum
menggunakan teknologi dalam jaringan internet, karena memang belum ada.
Universitas Chicago melakukan PJJ kepada mereka melalui surat kertas, bukan
surat elektronik.
Fanners were given access to distance
learning courses via mail through the Universities of Chicago, Pennsylvania,
and Wisconsin as early as 1890 (Prewitt; Stevenson, 2000). Great Britain, whose
educational system was widely exported throughout the world via their empirical
control, has a substantial history of distance learning.[1]
Inggris Raya, yang sistem
pendidikannya banyak diekspor ke seluruh dunia memiliki rekam jejak terkait subtansi sejarah
pembelajaran jarak jauh di Afrika, Asia, dan Karibia. Britania mengawasi sistem
pendidikan kolonial di wilayah-wilayah Kepulauan Karibia, maupun Benua Asia dan
Afrika secara ekstensif, dan tersentralisasi. Hal itu mendorong pertumbuhan
pembelajaran jarak jauh, terutama setelah pesawat televisi ditemukan dan
dikoleksi masyarakat sejak 1950-an.
In Africa,
Asia, and the Caribbean, for example, Britain mandated and oversaw a colonial
system of education with far-reaching historical implications and extensive
oversight mechanisms. This centralized and global system encouraged the growth
of distance learning, particularly after televisions were available in the
1950s.[2]
Bahkan Australia, setelah
ditetapkan sebagai negara yang berdaulat, terus menggunakan pembelajaran jarak
jauh dengan menggunakan radio gelombang pendek sebagai mode instruksi untuk
melayani komunitas pedesaan yang jauh (Stevenson, 2000).[3]
Di tahun 1970-an, Negara-negara
Amerika Latin melakukan upaya serupa untuk mendidik penduduk pedesaan yang
terisolasi melalui televisi pendidikan, atau ETV. BIla PJJ sudah diselenggarakan
di berbagai belahan dunia lebih dari satu abad, namun penggunaan teknologi
komputer untuk PJJ baru meningkat dalam masa dua dekade lebih.
In the 1970s,
Latin American countries engaged a similar effort to educate isolated, rural
populations through educational television, or ETV. Though distance learning
has existed for over a century, computer technology has given rise to increased
attention and resources over the past two decades. The U. S. Department of
Education ( 1999) defines these efforts as "education or training courses
delivered to remote (off campus) locations via audio, video (live or
pre-recorded), or computer technologies including both synchronous and
a-synchronous instruction. "
Indonesia juga sudah memanfaatkan pesawat radio, dan kemudian televisi untuk memberikan pembelajaran secara jarak jauh untuk memasyarakatkan P4 “Forum Negara Pancasila” yang diasuh Tedjo Sumarto, S.H., pada era 1980-an hingga 1990-an, dan termasuk pembelajaran bahasa Inggris melalui TVRI pada era yang sama. Bahkan secara resmi Indonesia telah mendirikan Universitas Terbuka yang memang memiliki fokus pada mahasiswi-mahasiswa yang membutuhkan pelayanan PJJ, pada 4 September 1984.
Penggunaan teknologi audio dan
visual pada masa lalu dalam pelaksanaan PJJ tentu memiliki kaitan erat dengan
pencanggihan teknologi komputer dan jaringan online pada masa sekarang. Lembaga
pendidikan, termasuk sekolah di dalamnya selama dua dekade lebih telah
menempatkan teknologi komputer, dan pencanggihan sistem jaringan informasi
online-nya sebagai sesuatu yang sangat berperan penting. Terlebih sejak pandemi
covid 19, lembaga pendidikan, dan organisasi pemerintahan dan sosial memiliki
“ketergantungan” pada komputer dan teknologi jaringan online-nya.
Namun demikian, hal ini tidak
berarti pelaksanaan pendidikan harus mengabaikan pedagogik.[4]
Keengganan kita semua mengatasi krisis pedagogik dalam PJJ tidakkah sama
artinya, bahwa kita memiliki peranan dalam membiarkan epistemology of distance learning pada masa pandemi memiliki
kekurangan, yaitu ada kekosongan pedagogik.[5]
Selain untuk mengembangkan ilmu pendidikan dan melahirkan
generasi bangsa yang berkarakter, berkualitas, dan berdaya saing global,
pedagogik teoritis dan praktis juga diperlukan untuk menyukseskan Kebijakan
Merdeka Belajar yang sudah diresmikan oleh Mendikbud Nadiem Makarim pada 11
Desember 2012, lalu disusul Program Organisasi Penggerak (POP), dan kemudian
Program Kampus Merdeka (PKM). “Ketiga program tersebut membutuhkan pedagogik, karena
pemerintah meresmikan ketiganya untuk mengatasi persoalan mutu lulusan sekolah
dari SD hingga SMA/SMK. Begitu juga Program Kampus Merdeka, “ ungkap Juri
Ardiantoro.
Betapapun program vaksinasi pencegahan covid-19 masih terus
berlangsung, namun belum ada yang berani memastikan hal itu akan berhasil 100
persen. Pembelajaran Tatap Muka mungkin saja sudah bisa diizinkan oleh
pemerintah awal tahun ajaran baru, namun semua itu masih berandai-andai. Meskipun
PTM berjalan, PJJ juga masih sangat mungkin menjadi bagian layanan pembelajaran
di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi. Penegasan Ketua Umum IKA UNJ untuk
mengatasi krisis pedagogik dalam PJJ pun masih sangat relevan.
Juri Ardiantoro berharap, Diskusi Reboan Pendidikan Forum
Diskusi Pedagogik (FDP) Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta bertema "Solusi
Krisis Pedagogik Dalam Pembelajaran Jarak Jauh" dapat menghasilkan solusi.
Kepala Deputi IV Kantor Staf Presdiden R.I., tersebut
optimis akan keberhasilan diskusi pada Rabu, 31 Maret 2021, dari pukul 13.00 WIB
s.d. 16.30 WIB. Rencananya Rektor Universitas Negeri Jakarta, Prof. Dr.
Komarudin Sahid, M.Si., akan menyampaikan pidato ilmiah terkait tema diskusi. .
Berkaitan dengan moderator diskusi, FDP IKA UNJ dalam Diskusi Reboan akhir bulan
kali ini memilih Guru SMA Labschool UNJ, yang merupakan media darling, Satriwan
Salim, S.Pd., M.Si., untuk memimpin jalannya diskusi. Salah satu
pertimbangannya adalah karena selama ini Koordinator Nasional Perhimpunan
Pendidikan & Guru/P2G tersebut mendalami dan mempraktikkan literatur pedagogik baik karya
pedagog dari dalam negeri maupun luar negeri dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.
Adapun untuk pembicara, FDP IKA UNJ menghadirkan tiga orang
narasumber yang mendalami bidang
masing-masing dalam pedagogik teoritis dan praktis. Ketiganya yaitu: Siti
Hidayati R, S.Pd. (Guru SD Perguruan
Cikini/ Pengurus P2G DKI Jakarta), Dr. Robinson Situmorang, M.Pd. (Dosen Teknologi Pendidikan FIP
Universitas Negeri Jakarta), dan Prof. Dr. Gorky Maximus Sembiring, M.Sc.
(Guru Besar Universitas Terbuka).
FDP IKA UNJ juga menghadirkan Drs. R.A. Hirmana
Wargahadibrata, M.Sc.Ed. Dosen Teknologi Pendidikan FIP UNJ ini menjadi Peserta Aktif yang akan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan atas paparan ketiga narasumber, dan juga
refleksi kritisnya atas pelaksanaan PJJ sejak awal pandemi.
Tidak kalah menarik dibanding Reboan FDP IKA UNJ bulan lalu.
Dalam Reboan 31 Maret 2021, dua mantan Rektor IKIP Jakarta menyatakan akan
hadir.
“Terima kasih undangannya. In sya Allah, mudah-mudahan
bisa hadir, tapi jam 16 mengajar, “ kata Prof. Dr. A. Suhaenah Suparno, Rektor
IKIP Jakarta 1992-1997, yang kini aktif mengajar di Universitas Muhammadiyah
Buya Hamka.
Konfirmasi serupa, karena sedang padat kegiatan juga
disampaikan oleh Prof. Dr. Sutjipto, Rektor IKIP Jakarta/UNJ 1997-2005. “Mungkin
nanti saya nyusul karena saya mimpin ujian S3 di UP. In sya Allah, “
ungkap Direktur Pascasarjana Universitas Pancasila.
Diskusi akan berlangsung secara online melalui
aplikasi zoom meeting. Untuk para guru, para dosen, para pemerhati pendidikan,
para aktivis pecinta pedagogik dan para wartawan yang berminat mengikuti
diskusi bisa mendaftar di https://forms.gle/DTsHSk7urA3xf2NV6 atau menghubungi Sdr. Indah
Ramayati, S.Pd., di Hp. +62
896-3072-4629. Selamat mendaftar.
[1] By William Gaudelli, “Convergence of Technology and Diversity :
Experiences of Two Beginning Teachers in Web-Based Distance Learning for Global
/ Multicultural Education,” Teaching
Education Quarterly 33, no. 1 (2006): 97–117.
[2] Gaudelli.
[3] Gaudelli.
[4]
Nicola Westberry and Margaret Franken, “Pedagogical Distance: Explaining
Misalignment in Student-Driven Online Learning Activities Using Activity
Theory,” Teaching in Higher Education
20, no. 3 (2015): 300–312, https://doi.org/10.1080/13562517.2014.1002393.
[5] Theoretical Perspectives and Didactic Ergonomics, Second Language Distance Learning and Teaching : Theoretical Perspectives And, n.d., Lihat pula pada halaman 7 s.d. 8, dalam sub judul “Segitiga Pedagogik Houssaye”. Selain menjelaskan apa itu Houssaye’s Pedagogic Triangle, juga hasil penelitian Carré dkk. (1997) yang dipaparkan oleh Jean-Claude Bertin (University of Le Havre, France), Patrick Gravé (University of Le Havre, France), Jean-Paul Narcy-Combes (Sorbonne nouvelle - Paris 3 University, France) pada hal. 8. Terdapat tiga tingkatan situasi pedagogik: a. Tingkat mikro (psiko-pedagogik) mendefinisikan apa yang mereka sebut sebagai "subjek" dan mencakup informasi yang relevan tentang pelajar (misalnya pembelajaran dan akuisisi teori, dll.). b. Tingkat meso (tekniko-pedagogik) mencakup semua aktor manusia yang terlibat dalam hubungan sosial yang sebelumnya disebut oleh Houssaye (guru, tutor, teman sebaya) juga alat, bahan dan alat bantu pembelajaran. c. Tingkat makro (sosio-pedagogik) menghasilkan inovasi karena memperhitungkan seluruh lingkungan belajar (lokal juga sebagai konteks dan institusi politik). Berdasarkan situasi pedagogik tingkat 2, dan 3, maka memenuhi kekosongan pedagogik dalam PJJ saat ini sudah merupakan kebutuhan. Lihat juga peer learning di Westberry and Franken.