Kiai As'ad Syamsul Arifin: Hormati, Hargai Undang-undang itu !
Kiai As'ad Syamsul Arifin bukan hanya mumpuni dalam keilmuan, dan berjasa besar dalam merawat Ke-Indonesiaan sehingga mendapat gelar Pahlawan Nasional. Kiai As'ad adalah teladan dalam mematuhi Undang-undang, dan anti korupsi.
Abdullah Taruna
"Ambu Cong, toron be'en (Berhenti Nak, turun kamu)," dawuh Mbah KH. R. As'ad Syamsul Arifin kepada sopirnya KH. Musyirin, sopir pribadi beliau dalam perjalanan dari Situbondo, Jawa Timur menuju Semarang, Jawa Tengah.
Mbah Kiai As'ad yang duduk di sebelah kiri sopir pribadinya menoleh ke kiri, dan tangan kanannya membuka pintu mobil Fiat warna telur asin yang masih terawat baik itu. Beliau turun tanpa menunggu dibukakan pintu oleh Kiai Musyirin. Tidak jelas, apakah dalam perjalanan ini sekretaris pribadi beliau, KH.Anwar Nuris (Sekjend PBNU 1984-1989) turut serta.
Kiai Musyirin merasakan aura kemarahan Mbah Kyai As'ad, Kiai Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Asembagus, Situbondo, murid langsung Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan. Sejarah mencatatnya sebagai Kiai yang memiliki peran penting jelang berdirinya Nahdlatul Ulama, Ormas Islam terbesar di tanah air. Ayah KH. R. Fawaid, Ra Kholil, dan Nyi Isyah inipun juga murid Hadratusyaikh Hasyim Asy'ari.
Kontan saja Kiai Musyirin merasa jantungnya berdegup kencang, raut wajahnya pun memucat, bukan karena takut kemarahan Kiai, namun lebih karena takut tindakannya membuat ia kehilangan 'cinta' Gurunya yaitu KH. As'ad. Sebab mendapat mahabbah dari guru itu jauh lebih besar nilainya dibanding mendapat harta benda.
Ia bergegas menghampiri Mbah Kiai As'ad yang sudah menunggu di samping mobil Fiat yang sudah berada di tepi jalan Simpang Lima Semarang itu.
“Arapah be’na ma’ ta’ ambu ja’ badha lampu merah? (Kenapa kamu tidak berhenti, bukankah lampu merah?),” Dawuh Mbah Kiai As’ad menegur sopirnya.
Mendengar teguran itu, Kiai Musyirin merunduk dan melipat kedua tangan di depan perutnya. Lalu Musyirin meminta maaf dan menjelaskan kepada Mbah Kiai As'ad alasannya menerobos lampu merah.
“Nyo’on saporah, abdhina cangkolang, Keaeh. Pekker abdhina ka’dintoh jelen preppa’en seppeh. (Mohon maaf, Kiai. Saya pikir jalanan sedang sepi),” jawab Kiai Musyirin.
Klarifikasi Kiai Musyirin bukannya meredahkan amarah Mbah Kiai As'ad, Tokoh Penting di balik Munas Alim Ulama NU 1983 yang salah satunya memutuskan Deklarasi Hubungan Islam dengan Pancasila (Relasi Islam dengan Negara) itu tambah muntab_marahnya marah.
“Be’na kodhu ngarte ban mahami. Lampu lalu lintas ruwah undang-undang nagereh. Aruwah para pemimpin rapat rajeh biayana. Hormate! Ajinih undang-undang geruwa! Biaya se e angguy jiya obengah rakyat, obengah oreng benyak. Bisa dhusa ka reng benyak be’na. Biasa’agi ngabes lanjeng be’na, ja’ gun karo se paddeng! (Kamu harus tahu dan paham. Lampu lalu lintas itu undang-undang negara. (Lampu merah. Red.) itu para pemimpin rapat dengan biaya besar. Hormati ! Hargai undang-undang itu! Biaya yang digunakan (rapat. Red.) itu uang rakyat, uang orang banyak. Bisa dosa kamu kepada mereka. Biasakan berpikir panjang. Jangan cuma memandang yang terlihat saja!” Dawuh Kyai besar yang merupakan Putra Kyai Syamsul Arifin itu dengan nada tinggi.
Kata-kata amarah Kiai As'ad yang sebenarnya berisi nasehat yang mendalam dan sarat ilmu itu membuat Kiai Musyirin tidak sesenti pun berani mengangkat kepalanya yang sudah merunduk sejak menghampiri Kiai yang dikenal mampu mengingat nama ribuan santri beserta seluruh nama orangtuanya dan alamat tempat tingga mereka.
Sambil terbata bata karena harus bicara dalam keadaan bersalah di hadapan Kiainya yang kharismatik itu, Kyai Musyirin berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Permintaan maaf itu pun diterima oleh Mbah Kiai As'ad. Lagi pula tujuan Mbah Kiai As'ad menegur Kiai Musyirin sebenarnya untuk memberikan edukasi, baik kepada Kiai Musyirin, semua santri, dan kita semua warga Nahdliyyin agar tidak melihat lampu merah lalu lintas sekedar lampu merah di perempatan jalan raya saja, namun sebagai wujud kehadiran negara dalam bentuk undang-undang yang harus dipatuhi, termasuk jangan sampai warga NU berdosa karena pelanggaran lalu lintas itu.
Mbah Kiai As'ad pun mengajak sopirnya Kiai Musyirin kembali ke mobil, KH. R. As'ad pun meraih daun pintu Fiat warna telur asin, dan melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat tujuan di Semarang, Jawa Tengah.
Karena cerita ini saya dapat dari santri Mbah Kiai As'ad, yaitu Kiai Nasrullah bin KH. Abdul Rasyid, yang sekarang menjadi Imam Dzikir Manaqib DKI Jakarta, maka sayapun bertanya dalam dialog berdua saja di kediaman Kyai Nasrullah di Jakarta Selatan Malam Rabu, 23 Maret 2021 hingga Rabu dinihari, 24 Maret 2021.
"Apakah melanggar lampu merah lalu lintas itu berarti sama dengan mengkorupsi uang rakyat, di mana APBN-nya digunakan untuk membiayai penyusunan dan kebijakan publik dalam bentuk Undang-undang Lalu Lintas?
Kiai Nasrullah menjawab, "Betul, melanggar lampu merah itu termasuk korupsi kalau kita menyimak isi penjelasan Kyai As'ad kenapa kita dilarang melanggar lampu merah," Ujar alumni master pendidikan agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Kiai Nasrullah bin KH. Abdul Rasyid adalah putra Betawi yang mondok alias mengaji di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Asembagus Situbondo dalam asuhan Mbah Kyai As'ad sejak beliau usia sekolah dasar.
Hari-harinya digunakan untuk mengembangkan majelis dzikir Manaqib Al Baghdadi. Di Pendopo Manaqib, Kampung Jawa, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kiai Nasrullah membuka pengajian Manaqib, termasuk pengajian Kitab "Sirrul Asrar Wa Madzharul Anwar Fima Yahtaju Ilaihil Abrar" Karya Syaikh Abdul Qodir Al Jaelani. Kiai Nasrullah merupakan salah satu Imam Majelis Dzikir Manaqib dari sekian banyak Imam Manaqib Al Bagdadi di seluruh Indonesia yang dipimpin Guru Mursyid, Abah K.H. Junaidi Al-Baghdadi, di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.
Di antara isinya antara lain hakikat manusia adalah jasmani (manusia yang dipahami dalam asosiasi manusia secara umum), dan ruhani.
Hakikat ini ada dalam literatur perkuliahan program master "Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan" karya Prof. Dr. Martini Jamaris, M.Sc.Ed, Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.
Jadi sangat menarik untuk mempelajari Kitab Karya Sayidina Syaikh Abdul Qodir Al Jailani "Sirrul Asrar Wa Madzharul Anwar Fima Yahtaju Ilaihil Abrar", yang berisi rahasia kehidupan, termasuk bagaimana mengenali jati diri bagi kita yang ingin mendekatkan diri kepada ridla Allah SWT.
e-mail penulis: abditaruna9@gmail.com
Sumber:
1.Wawancara KH. Nasrullah bin KH.Abdul Rasyid.
2.Nyai Hj. Aisyatul 'As'adiyah (Neng Dya) akun FB, Ahad, 04 November 2018).